Surat-Surat dari Kota
Dua Kumpulan Sajak Ready Susanto (Versi Blog)
Monday, March 5, 2007
BAGIAN I. SURAT-SURAT DARI KOTA
serpih-serpih kenangan
pada keruh Musi dilayari peluh puluh biduk
sarat muatan dari hulu
yang mungkin juga dari dusun, dusunku
dusun kecil angan sepanjang hayat
jembatan megah melintang membatu
kokoh menjulur menancap pada bumi
di bawahmu terminal becek penuh lubang
yang kian kotor pada Oktober sampai April
dan anak-anak yang berteriak menjajakan dagangannya
ibu-ibu yang berebut mencari harga termurah
tukang obat yang punya obat serbaguna, termanjur di dunia
mobil-mobil berkap merah, putih, hijau, biru
cat minyak di kanvas blacu, menyatu pekat
dan sebagian masa muda
hanyut mengalir ke laut hari depan
nonton film di Makmur, hujan-hujan
mengunyah empek-empek sambil dengar musik ngamen
lagu percintaan, tembang tertua dari swargaloka
ah, Palembang!
kukenang kau kala hujan
Bandung, 28-03-86
SUATU HARI DI SELAT SUNDA
biru
biru
hanya biru
hanya ada biru
seperti hati ibu
Palembang, 06-11-85
PENGEMBARA 1
angin yang datang pelan-pelan dari
belakang
sekian ribu mil lagi
kembali
laut, pasir, gunung, dan
helai-helai rambutku
akan datang lagi
akan pergi lagi
Bandung, 25-05-87
PENGEMBARA 2
pada kabut yang
menganyam tirai dari baja
beting-beting karang yang bersekutu
membentangkan jarak dan berkata
“pulang! pulanglah!”
aku tak sempat peduli
(atau tak guna peduli)
aku bahkan sudah tak punya tonggak
untuk sekadar menambatkan perahu
Bandung, 25-05-87
PENGEMBARA 3
engkau yang menantiku di sana
di sebuah simpang jalan tanpa tak bernama
mestinya tahu
jalan bagiku adalah angan
yang muncul tiap detik
kau yang berharap di sana
di sebuah tikungan jalan tanpa tanda
agaknya mulai maklum
bahwa aku adalah
ombak
yang mendebur pada tiap denyut darah
Bandung, 25-05-87
PENGEMBARA 4
tutup sajalah semua pintu
biarkan
sampai datang dan kuketuk
(kalau pun tak terbuka
aku akan masuk
lewat hati)
hati-Mu
Bandung, 25-05-87
SURAT
di rerimbun pepohonan
kita pernah bayangkan sebuah kota yang ramai
universitas dan gedung perpustakaan yang besar.
Sebuah mimpi yang kita yakin
menjanjikan bunga-bunga,
dan barangkali juga seorang gadis manis
di sudut taman
“telah kutemukan kota yang ramai,”
kata suratmu tempo hari.
Sementara di sini tetap saja desa
dan hari ke hari berjalan biasa
anak-anak menyabit rumput dan menggembala
bapak-bapak memanggul cangkul ke sawah
“kemarin aku belajar di perpustakaan universitas
megah dan penuh buku asing
temboknya marmer dan lantainya mengkilat,” katamu.
Sementara di sini tetap saja cerita lama
sekolah desa berdinding papan
buku-buku tua kehilangan halaman
dan lantai tanah becek waktu hujan
apa lagi, pikirku
suratmu panjang lebar:
ada gadis manis di sudut taman perpustakaan
membaca buku ratusan halaman
kacamata bingkai emas dan wajahnya rembulan
(amboi, sungguh-sungguh mimpi penuh bunga, batinku)
kubayangkan sebuah kota yang ramai
gedung universitas dan perpustakaan yang besar
jalan-jalan penuh hiburan
dan terutama gadis manis di sudut taman
yang kurasa membuatmu tak ingin pulang
Bandung, 10-89
LANSKAP KUTA
— Anna
sang pejalan yang lelah
dan matahari petang di sana
ombak di kakinya
: telah kujalani semua, gumamnya
(selembut lidah buih
yang membelai kakinya)
selalu jua
(kaki langit, bukit, dan matahari pagi
menggamitnya pergi)
selembut udara yang tiba-tiba
berbisik tanpa kata
: kami rindu berjumpa!
Kuta, 14-06-89
KABUT RENDAH
— tentang Ciater
orang-orang yang lalu lalang dalam gelap
dan temaram lampu-lampu, di sini
bekerja dalam malam
dan dingin pegunungan
(sementara kabut rendah, uap air panas mengapung dari sumber-sumber yang tak pernah
henti mengalirkan)
seperti lampu-lampu, mereka kedinginan dalam udara
(cahaya kehilangan ketajaman
cuma melingkar dipeluk kabut)
seperti bukit di sekelilingnya
mereka tak bicara
kokoh dalam dingin dan gelap cuaca
— sesekali saja menawarkan rokok,
jagung rebus, ketan bakar
(beberapa wanita menawarkan
senyum yang luka
di bibir pucat, tanpa pesona)
orang-orang lalu lalang dalam temaram:
hidup ini seperti kabut!
remang-remang, tak jelas di depan sana
apa yang akan dijumpa
(Padahal kabut dan uap air panas
tak hentinya mengapung
dan sumber-sumber air terus mengalirkan)
cinta-Nya pada semua
Ciater, 1988
mengapa justru di sini
kurasa Kau begitu dekat
lebih dari urat leherku
sendiri
barangkali karena
Kau tiupkan angin tajam yang mendesir itu
atau karena
Kau hamparkan air yang membiru,
bukit yang menghijau, pelangi yang melintang di
cakrawala
: Kau bisikkan cinta-Mu
mengapa justru di tanah ini
kurasa Kau menjadi dekat
lebih dari yang pernah bisa aku duga
Kintamani, 16-06-89
KACA JENDELA KAMPUS
kaca jendela kampusku
sudah lama penuh debu
aku di situ saja menatap
ke bawah
dan orang-orang lalu lalang tanpa diminta
cuma kabur dan tak begitu jelas lagi
kaca jendela kampusku
penuh debu
sudah lama sekali
Bandung, 14-02-90
TENTANG IBU
yang kudengar tiba-tiba
ada yang berkata sudah waktunya engkau tidur
malam sudah larut
suara teve jauh dan elusan tangan ibu
besok sekolah, sayang
dan doa semoga bukan malinkundang yang jadi batu
sia-sia saja mengingat
doa yang lamat-lamat
suatu saat pernah kudengar ibu mengucapkannya
menjelang lelap
: dan semoga tak jadi orang-orang yang lupa
sia-sia saja!
Bandung, 02-90
BUKU HARIAN
— bagi Nenek
yang kutulis cuma suasana
bukan cerita atau
dongeng nenek suatu ketika
waktu aku enggan dininabobo
oleh waktu dan langit yang gelap
suatu ketika, aku tahu
nenek bukan apa-apa
selain masa lalu yang seperti ku kini
adalah masa lalu esok harinya
yang kucatat cuma suasana
bukan keindahan kanak-kanak
romansa masa remaja
atau khayalan-khayalan dalam kepala
barangkali yang mengerti cuma esok hari
seperti dongeng nenek yang kukenang kini
Bandung, 02-90
LANGIT KACA-KACA
langit jadi kaca-kaca
aku ingin memamah rembulan
entah di persimpangan mana
kurasa kita pernah berjumpa
mengunyah batang-batang rumput yang
terasa manisnya hingga kini
padahal telah kujumpai ribuan tikungan
jalan-jalan tanpa perhentian
taman-taman di sisinya
tapi tak ada lagi
kesegaran batang rerumputan
orang mencoba menanami
mengharapkan sebuah dunia dengan hutan-hutan
yang subur
dan cerita burung-burung bernyanyi
bukan dongeng belaka
untuk diwariskan dalam buku-buku
disket, dan rekaman pita video
tapi mimpiku kemarin, cuma langit kaca-kaca
memantulkan sinar panas
aku haus, kehilangan kekasih dan kenangan di satu hari
khayalku lagi-lagi langit dari kaca
panasnya membara, hijau tak ada
asap menyesakkan dada
kekasih dan kenangan sirna!
Bandung, 26-06-90
HUJAN PERTAMA
menangkap getaran hujan pertama
bumiku luluh dalam cinta
bau tanah basah
dan cerita kecil masa bocah
bermain dalam hujan
kesegaran yang tak pernah
— atau tak mungkin lagi
kini dipunyai
makin dewasa kini
cerita kecil masa kecil
cuma bayang manis
semoga masih diceritakan kelak
pada anak dan cucu
berjalan dalam hujan pertama
aku mengalir dalam udara
cerah matahari dan daun-daun
bergetaran
di bingkai jendela
kulupakan berita dunia di lembaran warta
dan layar kaca
hujan
baru tiba sesaat tadi
tanah basah dan debu-debu kembali
ke asalnya:
Tuhan beserta semua
Anyer, 10-90
PERCAKAPAN DENGAN BURUNG
— Nyanyian bagi pepohonan Jl. Dago
ingin kuucap selamat tinggal
pada pohon-pohon
tapi burung-burung lebih bisa
merasakan kedukaan darah
yang merebak dari kulitnya yang tua
kita tak pernah kehilangan suasana
(bisa diciptakan kehijauan plastik
udara pegunungan,
suara serangga, dan kicauan burung)
kita tak pasti, juga ketika menyaksikan kesibukan pagi-pagi
burung-burung itu masih saja bernyanyi
“rumah kami lagi-lagi ditebangi
benarkah kami yang mesti pergi?”
(barangkali begitulah bunyi nyanyiannya)
hendak kukatakan pada burung-burung
: kami tak mengusir, saudaraku
rumah kian sempit
anak-anak bertambah, harta makin melimpah
keleluasaan sudah tak ada
(seperti mimpi, kita bayangkan pohon-pohon
dan kegagahan ranting-rantingnya)
tak begitu yakin, burung-burung itu masih juga
bernyanyi
“tapi kita tetap bersaudara,
seperti saat kapal Nuh mulai berlayar
dan kita, bersama-sama di dalamnya”
ingin sekali kujanjikan, saudaraku
tapi burung-burung telah jauh terbangnya
entah di mana kini rumahnya
Bandung, 90
aku jadi ragu apakah
jarak yang mengkanvaskan kita
pada kenyataan
dan rerumputan mati, dedaunan bisu
sementara burung-burung enggan bernyanyi
bunga ilalang luruh sendiri
dan aku jadi ragu
benarkah jarak yang memenjara kita
dari kenyataan-kenyataan
yang diputarbalik
di ujung pena kita sendiri
ah, rintihku
(pada siapa?)
padahal alam enggan jadi pertanda
dan diam-diam
mulai pula belajar dusta
Bandung, 1989
TAMAN KAMPUS WAKTU MALAM
— Universitas kita ...
sejenak sepi menyergap
di jalanan lengang bekas hujan
lampu redup
dan tunas-tunas tumbuh
di semak-semak belukar
liar dan beraneka ragam
desir suara satu-satu
lenyap di ujung gardu jaga
kesibukan bermacam-macam suara
sudah usai
entah untuk kembali lagi
atau, cuma jadi mimpi indah
kita semua
taman malam hari
tempat tumbuh bermacam bunga
akan indah di keesokan pagi
dengan matahari
dan kupu-kupu mencari madu
(malam, suara desir satu-satu
lenyap di lampu redup ujung jalanan
tunas-tunas pun tumbuh di bekas hujan
liar dan beraneka ragam!)
Bandung, 90
DI TEPI MUSI
kita ingin bernyanyi
lagu apa saja tentang air yang mengalir
dan hutan-hutan yang berjajar di hulu
di mana banyak cerita dalam dongeng terjadi
kita ingin sekali mendengar
dunia peri-peri dengan alam berseri
cuaca hijau penuh tumbuhan dan
alam segar
(itu bunyi cerita nenek
di masa kecil dulu)
sekali lagi dendang berhiliran
seperti waktu berlarian
: tak terhentikan!
kilat minyak telah ke hilir
bersama buih, dan air
berubah warna
di hulu pohon bernyanyi tanpa suara
lagu-lagu perkabungan mengiringi
pokok-pokok kayu menghilir ke kota-kota
untuk lapuk dan tua bersama cuaca
kita lelah merenungkan sungai yang barangkali sekejap lagi
tak ada di sini
hutan-hutan yang rebah bersama, menuju kota-kota
(sedang nenek pun enggan lagi mendongeng
: sudah banyak yang terlupa, cucuku
lapuk dan tua bersama cuaca)
Palembang, 90
KERAMAIAN AKHIR TAHUN
suara-suara makin samar
di tepi kaca jendela
lalu lalang manusia
tak sadar hendak ke mana
sunyi menikamku tepat
di tengah keramaian akhir tahun
hiruk-pikuk pasar perbelanjaan
entah mengapa tak berarti
seperti kukenal sebuah taman
yang hilang dan tanpa bunyi-bunyian
(kita memang sendiri!)
sunyi tepat menikamku
di akhir tahun yang kurasa panjang
dan menjemukan
(kita memang sendiri!)
Bandung, 12-90
HUTAN LARANGAN
pagi berjalan dalam hutan yang berkaca
panas menerobos pucuk-pucuknya\
memantul dan jatuh di tanah
yang keras
gemericik air lenyap ditelan
asap yang mengabut ke udara
pagi dalam hutan yang berwarna
berkilap ketika
matahari jatuh dalam air
yang dikolamkan
dan anak-anak cuma tertegun
menyaksikan kenangan, air yang memancar
kerinduan pada masa silam leluhurnya
pagi dalam hutan
dan kolam terlarang
semua bersicepat bersama dunia
berputar
dan anak-anak berlarian di hutan
dalam kolam di taman, air yang memancar
dalam kenangan
Jakarta, 09-92
MEMO
Ibu,
aku sedang berjalan
dalam kaca teve dan berita koran
ketika cuaca begitu gelapnya
dan ombak tercemar muntahan
peperangan
langit yang merah terbakar
cerita tentang dendam yang silam
tiap saat menyambar
seperti elang mencari sasaran
aku mengkhayalkan kedamaian rembulan
dalam dongeng Ibu
kudengar jua pesan-pesan
“ini bumi kita, anakku”
cintailah selalu
dan jangan buat kehancuran
di atasnya
nyatanya, Ibu
telah kami buat juga perkelahian
sesama saudara
dan cuaca telah disesakkan
dendam
— sejak Kabil dan Habil!
Bandung, 12-02-91
TANJUNG PRIOK, TAHUN 1992
air yang mengalir
dalam sungai-sungai dan selokannya
menghitam begitu saja
(anak-anak berlarian dalam panas
kulitnya berkerak:
luka dan lumpur)
kota telah mengirimkan sampah
plastik dan minyak
peradaban gemerlap yang
di sini cuma terasa bekasnya
(anak-anak menceburkan kepala
dalam banjir yang setia,
selalu gembira, apa adanya)
“Priok, kampungku yang sederhana
aku anak-anak yang tak pernah
lupa pada derit gerobak
pedagang air,
dan teriakan kesal ibu-ibu
karena sampah yang mengambang
dari permainan anak-anaknya”
panas yang telah menjadi bias
kini pengap karena asap
dan udara karbon yang menghambur
dari pembakaran kota-kota
Bandung, 92
DI THAMRIN, JAKARTA
aku ingin
menulis sebaris puisi saja
pada engkau hari ini
setelah sepanjang hari
berdiam dalam riuh rendah suasana
jalanan yang panas,
gemericik air mancur dan hijau
tanaman hias
yang lenyap dalam uap aspal
panas yang mengambang di udara
kota
aku ingin melagukan
sepenggal rayuan pada engkau
siang ini
di antara orang-orang melangkah tergesa
dengan dasi melambai ditiup angin,
bus yang tak pernah berhenti,
dan lalu lalang tanpa henti
aku ingin sekali
menorehkan sekadar sapaan
pada suasana yang telanjur
tergesa dan lupa
pada engkau yang terpesona
di sisi jalan
kota
Bandung, 11-08-92
KAMPUNGKU SUKASARI
kampungku Sukasari
kecil jalan-jalannya
disemen dan aspal berkali-kali
jika hujan air berkilat dan
meluap keluar dari saluran bawah jalanan
kampungku Sukasari padat penghuni
rumah-rumahnya berpetak sangkar merpati
disusun di atas tanahan tinggi
kampungku Sukasari tak pernah sepi
anak-anak berteriak pulang sekolah
main di jalan dan pekarangan yang sempit
remaja bergitar, rokok, dan lagu-lagu
mengisi malam-malam kampungku Sukasari
kampungku Sukasari padat penghuni
tak pernah sepi, tak pernah mati
Bandung 22-11-92
Sunday, March 4, 2007
aku menghadap pada cahaya
terang semesta raya
doa-doaku melayang di udara dan
asap kota bersamanya
ketika senja mendatangi
bangunan-bangunan dalam bayangan hitam
yang perlahan tiba
doa-doaku
(yang menuju cahaya cinta-Nya)
melayang bersama udara
dalam asap kota dan
bayangan-bayangan hitam
yang kian tiba
Jakarta, 14-11-92
DOA MAGRIBKU 2
doa magribku melayang
di udara bersih
berkas-berkas hujan yang jatuh
cinta sejati Engkau
padaku
doa magribku melayang-layang di udara
bersih dan penuh cinta
sejati
Jakarta, 22-11-92
DOA ASYARKU
doaku
berkerlipan dalam udara dan
dentam hingar-bingar
: orang bekerja terus
terus bekerja tak hentinya
hingga lupa
doaku tak ada habisnya
menyelinap dalam lipatan
kertas-kertas menggunung
suara mesin-mesin
detik halus keyboard komputer
lintasan data dari seluruh dunia
yang tak pernah senyap lagi
: orang bekerja, berniaga
berniaga, bertukar data
berkata-kata tanpa suara
doaku janganlah lenyap
hening dan lirihmu begitu saja
biarlah ada dalam dentaman
hingar-bingar
suara mesin-mesin, detik jam, faksimili
dalam kata-kata
tanpa suara
Jakarta, 26-11-92
DOA SUBUHKU
doa subuhku uap putih
yang tersisa di antara
langit dan bumi
doa subuhku larut dalam
usai tahajud para malaikat
sepanjang malam
Jakarta, 03-12-92
DOA ZUHURKU
ampunkan aku
atas zikirku yang
terbata
Jakarta, 11-12-92
DOA MAGRIBKU 3
maafkan aku
hanya terpaku menatap
tahun berganti, dan nama-Mu
dalam sebutan papan-papan iklan
suara lirih di masjid-masjid-Mu
tak semeriah hiburan dan jajanan
buka dua puluh empat jam
sehari
maafkan aku
mengeja ayat-Mu perlahan-lahan
di sudut yang ditinggalkan orang
berdoa mengharapkan kekhusyuan
(tapi batinku mengembara
di layar kaca teve, di malam-malam
berlalu dua puluh empat jam
kesia-siaan yang pernah Engkau katakan)
Jakarta, 13-12-92
DOA ISYAKU
jadikan aku hamba-Mu
yang tahu memilah waktu
peredaran bumi dan matahari-Mu
berikan aku kegairahan matahari
dan bertebaran di muka bumi-Mu
di bawah cahaya cinta-Mu
yang abadi
anugerahkan aku ketenangan
malam-malam-Mu
kenikmatan istirahat dan sujud-sujud
malamku
dalam lindungan cinta-Mu
yang abadi
Bandung, 13-12-92
ELEGI BAGI SANG KORAN
sang koran pagi-pagi
berteriak tentang perceraian
pangeran dan putri tanah seberang
memampangkan foto-foto warna
eksklusif bidikan juru foto
yang kerjanya mengintip
kerahasiaan orang
sementara orang menanti
sang koran cerita tentang penggelapan
uang negara
di halaman depan
tapi sang koran bungkam
karena bisa saja meresahkan, kan?
lebih baik halaman-halaman
diisi iklan
Bandung, 14-01-93
KORAN YANG TERTEKAN
— bagi Mochtar Lubis
sang koran tertekan
sakit gigi dan
mulut seperti dibungkam
padahal ia cuma sungkan
dalam hati bimbang
: berkata atau diam?
lalu sang koran bertanya
pada ahli psikologi
: apakah namanya penyakit sungkan
susah bicara lantang
padahal mulut lebar
turunan
si ahli berbisik
(padahal mulutnya tak kalah lebar)
: itu namanya minder, Tuan!
Bandung, 14-01-93
MENANAM SEBATANG MANGGA
— obrolan Minggu pagi dengan isteriku
menanam sebatang mangga
di halaman yang sempit
di tengah hamparan bangunan
yang kian hari meluas tak terkira
menanam sebatang mangga
sembari mengingat dongeng nenek
tentang dunia peri-peri dan alam yang berseri
cuaca hijau penuh tumbuhan
dan alam terasa segarnya
menanam sebatang mangga
membayangkan anak-anak yang bermain
di bawah rimbun daun-daunnya
(semoga, anak-anak kita
masih dapat merasakannya)
menanam sebatang mangga
mengharapkan seekor burung
bersarang dan bertelur di atasnya
dan kicauannya pagi hari
meningkahi keriuhan suara kota
menanam sebatang mangga
sambil membayangkan semua tetangga
berbuat serupa
Bandung, 04-94
DI DEPAN KAMAR OPERASI
— Fathia Ramadina
airmata jadi kristal
bening
cinta seperti melebur
dalam daun pintu yang melambai
matamu menatap lirih
ke dalam hitam mataku
cinta menggapai
airmata mengkristal
RSAI, 22 Agustus 2005
BAGIAN II. SURAT-SURAT DARI DESA
Perjalanan 1
“aku ingin kita tak di sini sekarang,” katamu
“aku ingin perjalanan selalu”
menatap aspal yang dilindas gerimis
kau tersenyum
seperti langit putih bersih
aku tertegun dalam kantuk
rerimbunan teh yang hijau
dan asap rokok sopir kita
(ah ah ah, kau)
aku pun ingin perjalanan selalu
Perjalanan 3
— Mey
ketika kucatat hari-hari tanpa tanggal
peristiwa-peristiwa, dalam bingkai ukuran postcard
kusimpan dalam lembar-lembar yang
kian kuning karena usia
ketika aku membukanya satu-satu
dengan kegembiraan selalu
teringat kawan-kawan yang pernah
tertawa bersama
gadis-gadis yang pernah berjalan bersama
orang-orang berjasa
yang diam beku dalam himpitan
kertas-kertas tua
ketika
kau goreskan ujung payungmu di basah aspal
(karena, tadi hujan cukup lebat)
“janganlah terlalu sentimentil,” ujarmu
peristiwa-peristiwa itu lalu baur
dalam cahaya matamu yang indah
dan detak-detak sepatu di sampingku
PPU, 30-04-88
Perjalanan 4
— Malam Ciater
sebenarnya aku telah kehabisan kata
bersama larut dan lampu-lampu
yang enggan bicara
tapi kidung Sunda yang pelan kau nyanyikan
seperti angin membelai kudukku
aku takut jatuh hati, pada tanah Sunda
pada wajah-wajah ramah di sekeliling lingkaran
dan kegembiraan yang memancar di situ
dalam ucapan, kita telah kehilangan kata demi kata
kecuali nyanyian Sunda, kugumamkan tanpa ragu
seperti gerimis dan hawa dingin
yang mengelus tubuh kita
Ciater, 08-06-88
Perjalanan 5
— Rini
yang kutemukan selain ombak dan pasir
adalah jejak-jejak kita
di pasir basah
bergandengan menyusuri buih
lalu hilang di pelataran karang
bukankah kutemukan mata yang berbinar-binar
menatap kerang dan kulit lokan
yang katanya bagus untuk sebuah untaian kalung
mungkin telah kulupa kata Gibran
"air pasang bakal menghapus jejakku”
jejak kita
seperti buih yang pecah dan hilang
ketika digenggam di antara jemari
Pangandaran, 26-06-88
Perjalanan 6
suatu saat kelak, barangkali kita mesti hadir lagi di sini
di antara pokok teh, hijau rumput,
bunga-bunga biru,
batu-batu, pondok, keheningan danau
dan syair angin tengah hari
suatu pagi kelak jika semua tinggal
samar-samar, dipilah waktu
hitungan kalender
masih bisakah tersenyum
“ini album dari hati yang paling dalam” (katamu)
bergambar siluet, pecahan matahari,
pantulan air, kayu bakar, kantuk
dan udara dingin yang menghangatkan
suatu hari kelak
bila warna-warna kabur
hanya harum rambut yang tinggal
Patengan, 10/11-12-88
Lagu Hijau
di sini pokok teh berlagu jua
sementara
dari
tentang gelagah-gelagah terbakar
dan panas yang kian menikam kepala
Citawa, 09-89
PeRcakapan Panen Padi
saat malam-malam panen padi
di sawah lampu-lampu menyala
petani-petani bekerja hingga lupa
kantuk dan sengatan serangga malam
nyamuk-nyamuk mengabut
tetapi panen bukan saatnya ditunda
besok masih ada hari lagi, Pak Tani!
ya, ya, ya
tapi, kini bukan saatnya suka-suka
dan lampu-lampu harus tetap menerangi
petak-petak sawah
di malam-malam panen seperti ini
mengapa pula, Pak Tani?
padi tak hendak pergi, tanah kita
surga petani
ya, ya, ya
hanya, kesempatan panen datang sekali
sawah bukan cuma milik kami
semusim lagi petani tak tanam padi
tapi tanam gedung tinggi
Banyusari, 08-90
Prelude
— bagi M
seperti sebuah kesedihan
atau cemburu yang berlebihan
Bandung, 02-90
Di Jalanan Desa
di jalanan desa
kita seolah asing pada
pematang sawah dan kesiur
daunan padi
seperti lupa membayangkan
waktu kanak berlarian
menangguk ikan di
sawah bekas panenan
ataukah kita sengaja menghapuskan
sebagian ingatan
tentang pematang dan
belut-belut di lubangnya?
di jalanan desa itu
dosa kita sungguh beralasan
jalan-jalan pematang kabarnya
sudah makin berkurang
gedung-gedung menelannya
seperti kita memakan padi
yang dihasilkannya
Banyusari, 05-07-90
Lagu Kanak-Kanak 1
bulan yang gelap
ia hidup bukan karena apa-apa
tapi Tuhan meniupkan ruh-Nya
suatu saat telah kukatakan
nenek tak perlu mendongeng lagi
aku sudah besar sebentar lagi
tak percaya bulan yang hidup
dan kakek-kakek yang duduk berzikir
sepanjang waktu
Bandung
Lagu Kanak-Kanak 2
cerita yang sempat kucatat
adalah kisah manusia
yang menjelma menjadi harimau
dan tak sempat kembali
karena kutuk ibunya
cinta sudah langka, entah benar
entah tidak, aku lupa
(cuma sepatah-sepatah yang dikatakan
sahabat yang gemar memancing di tepi Musi
dengan umpan belalang)
kisah yang kucatat, doa ibu
jangan terlalu jauh berlayar ke tengah sungai
agar tak hanyut dan jadi manusia ikan
yang tak bisa kembali
Bandung
Lagu Kanak-Kanak 3
perahu yang bertumbukan di tengah
aliran air malam tanpa lentera
pernah orang-orang begitu takutnya pada
cerita hantu-hantu di lubuk
yang rambutnya panjang dan
cuma kepalanya mengapung
rambutnya hitam seperti
usus yang terburai-burai
perahu yang berlayar malam
tanpa petunjuk arah
hantu-hantu membawanya bertumbukan
Lagu Kanak-Kanak 4
tentang asap yang menyembur
dari kubur orang yang durhaka
kudengar dari cerita-cerita
waktu senja di sebuah
kuburan desa
kalaupun asap yang jadi-jadian
menyembur ke atas langit dan mengelana
menjelma hujan
ia tentu saja hujan yang buruk rupa
karena langit tak merestuinya
kalau asap yang menyembur
jatuh di para-para
ia akan jadi seonggok daun
yang kering lusuh
dan tak kentara
tentang asap yang menyembur
dari kubur orang mati
suatu ketika datang di sini
pada suatu malam dan menjelma
seonggok kertas bertuliskan
catatan dosa-dosa
Putri Danau
dalam kabut pagi atau gelap senja hari
sesekali orang menatap sang dewi
wajahnya bersinar sekejap
lalu lenyap dalam air yang gelap
(permukaan danau tetap menghitam
seperti cerita dongeng yang tak terbuktikan
hanya ingin membawa pesan pohon-pohon
yang telah tegak sekian lama
“Rengganis namanya, putri kerajaan Pajajaran”)
dalam cerah udara dan sinar matahari
daun teh berkilau karena embun di atasnya
seringkali orang menyaksikan perahu-perahu plastik
berbentuk angsa
dengan penumpang-penumpang yang tertawa
(ada putri cantik di antara mereka
murung dan tak bercahaya
tampaknya ia menanggung duka
sudah sekian ribu perputaran bumi)
permukaan danau tetap menyimpan
kerinduan sang putri, dendam para kesatria
cerita-cerita tak tertuliskan
hanya diucapkan, turunan demi turunan
sebagai kata penghantar malam
(ada seorang putri duduk di batu
pinggiran danau
wajahnya tak bahagia
sayup-sayup, menerobos bilik dan udara malam
seorang kakek mendongengkan
“ada seorang putri....”)
— bagi Yun Ts.
kesunyian ini, kekasih
taman
(bila kita tak juga bercakap
cuma bertatapan
dalam kegamangan dan pengertian
yang tak terucapkan)
cinta mulanya: kesunyian ini
lalu ikrar yang suci
“kupasrahkan rusukku demi engkau,
kekasih”
dan Tuhan meniupkan: jadilah!
maka jadilah
(saat itu, aku mungkin mimpi bulan
jatuh di pangkuan,
dan kukenal itu, kesunyian taman
yang menyejukkan)
begitulah, kekasih
bila kita tak mampu juga bercakap
biarkan saja kegamangan,
menjadi pengertian tak diucapkan.
Dalam taman itu: kesunyian
Bandung
Yang Terlupakan*)
— teringat Lilis, Edah, Rina
ingat ketika menyanyikan
: yang terlupakan
di sisi pantai, ombak berdebur
gelap hampir-hampir pekat
kenyataan indah, sahabat
seperti kenangan yang dibicarakan
di hari-hari kemudian
atau seperti kini
dalam ruang padat kesibukan
nyatanya kenangan bisa membekukan
begitu saja menghadirkan diri
kenyataan tak bisa dibuang, sayang
seperti kita diberi kenangan
suatu ketika saat melagukan
: yang terlupakan
*) Dari judul lagu karya Iwan Fals
Gadis Bermuka Bulan
— tentang gadis kekasihku
gadis bermuka bulan
dan kegenitan bunga liar dalam senyumnya
dalam matanya adalah kekuatan
: hidup adalah keindahan masa sekarang
dan harapan-harapan akan datang
gadis bermuka bulan
ia menerawang
: biarkan waktu berlarian, lenyap
di belakang
biarkan peristiwa lalu dalam catatan
berjalanlah menuju bahagia
(ya, selalu kita percaya
yang akan Ia berikan)
Bandung